Kamis, 04 Desember 2014

Guilty

Perlu waktu yang panjang untuk memahami tentang hidup. Perlu perjalanan yang jauh untuk memahami tentang bersyukur, berbagi, sedih, bahagia, dan segala rasa lainnya.

Aku yang dari kecil terbiasa makan enak, tidur nyenyak, dimanjakan dengan pakaian bagus, diantar kemana-mana dengan kendaraan pribadi, diberi uang saku yang cukup banyak oleh orang tua, dikuliahkan di kampus yang bagus, berteman dengan orang-orang yang lingkup pergaulannya jauh dari kesusahan yang hingga kemarin semua itu terasa biasa saja. Tapi entah kenapa sekarang terasa berbeda. Dunia memang tak seindah yang terlihat. Dan entah kenapa, sekalipun aku melakukan hal yang biasa aku lakukan, ada rasa sakit yang berbeda di hati ini. Saat makan enak ditempat yang bagus, atau membeli barang yang harganya diatas harga rata-rata ada semacam rasa bersalah. Rasa seperti apa ini? Sulit bagiku untuk menjelaskannya. 

Saat kita makan makanan enak, di luar sana masih ada nenek-nenek renta yang berjualan kue yang hanya untung 300 rupiah per kue, dan total penghasilannya hanya 12 sampai 20 ribu rupiah perhari, dan dengan tubuh lelah itu ia harus mengolah makanan untuk 2 cucu nya yang sudah yatim piatu dengan penghasilannya tadi. 

Saat kita memakai pakaian bagus dan sepatu yang bagus, ada anak kecil yang terpaksa memakai sepatu tua nya yang sobek untuk pergi ke sekolah. Sepatu itu pula yang dia pakai sepulang sekolah saat mengamen di lampu merah dan di sepanjang tempat makan di pinggir jalan. Anak lain yang bernasib sama, mengenakan sepatu sobek nya berkeliling untuk menyemir sepatu orang lain. Sembari menyemir ia pun mengagumi sepatu bapak-bapak yang sedang ia semir, berharap suatu hari nanti ia dapat memiliki sepatu sebagus itu.

Tak jarang pula saat keluar dari gang tempat kos ku, aku menemukan bapak penarik gerobak sampah yang duduk di sisi jalan sambil menikmati tahu goreng sebagai makan malamnya, sambil menyenter koran lama yang ia temukan di dalam tumpukan sampah, sembari memicingkan mata untuk meredakan silau dari pendaran cahaya yang menghantam kertas, ia membaca dengan raut wajah yang serius berita yang entah sudah berapa lama diterbitkan.

Mereka bermandi peluh dan lelah demi bertahan hidup, bukan hanya mempertahankan nyawanya saja, tapi juga keluarganya. Makan seadanya, dan tetap bersyukur. Tapi kita, yang diberi kelebihan oleh Tuhan masih saja sering mengeluhkan hidup.

Sesungguhnya Tuhan menciptakan mata agar kita dapat melihat dengan jelas apa yang mungkin selama ini tidak kita syukuri, dan Tuhan menciptakan hati untuk dapat merasakan kesedihan yang tidak dapat dirasakan oleh mata yang hanya dapat meneteskan air mata. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar